Mengenang Tsunami Aceh




Ini adalah pengalaman ke Aceh yang pertama, ya pengalaman pertama yang jauh dari kesan fun atau tepatnya perjalanan ini tidak membuka peluang sedikitpun bagi saya untuk menjadi penikmat wisata, karena perjalanan ini memiliki misi sosial. 



Saat itu saya masih kuliah tepatnya 30 Desember 2004, kalau boleh berkomentar mungkin banyak orang menganggap Saya ini mahasiswa abadi, karena saat itu menginjak semester 14 dan nyaris drop out, awalnya sahabat saya Eko mengajak ke Aceh untuk menjadi relawan dan Ia membutuhkan beberapa relawan dari kota Malang, tanpa berfikir panjang saya langsung mengiyakan, karena ini adalah momentum emas bagi saya untuk terlibat dalam misi sosial membantu masyarakat serambi mekkah yang telah menjadi korban gempa dan tsunami dengan kekuatan 9,3 Skala Richter hingga meratakan hampir 30 persen daratan NAD (okezone.com). Ini adalah sejarah pertama yang termuat dalam catatan musibah di Indonesia dengan jumlah korban terbanyak mencapai kurang lebih 173.741 jiwa, Maha Besar Allah.




Berangkat dari kota malang Pukul 14.30 dan tiba di Surabaya kurang lebih pukul 17.00 Wib, setelah berkordinasi dengan rekan-rekan relawan Jawa Timur, Saya melajutkan perjalanan menuju Jakarta menggunakan kereta api dengan tujuan akhir stasiun Gambir, setiba di Jakarta Saya berkumpul dengan relawan dari berbagai daerah, ini adalah awal pengalaman yang unik, bagaimana tidak? Beragam latar belakang daerah, perbedaan karakter personal menjadi akulturasi budaya yang unik, sungguh luar biasa.
 




Tiba di Bandara Udara Internasional Sultan Iskandar Muda kurang lebih pukul 23.30 , pekatnya kegelapan menambah suasana menjadi kaku, hampa dan mencekam, coba kau bayangkan kawan, kesan bandara yang seharusnya ramai dengan hiruk pikuk manusia dengan bergagam tujuan, tiba-tiba hilang,  Bandara Udara Internasional Sultan Iskandar Muda hanya disibukkan dengan lalu lalang relawan dan orang – orang yang sengaja datang ke Aceh bukan untuk berwisata tetapi mencari informasi dan memastikan tentang nasib kerabatnya.

Tumpukan selimut berjumlah ratusan dengan segel bendera Turki tampak berjejer di kereta kargo yang siap didistribusikan kepada masyarakat, kurang lebih satu jam tiga puluh menit Saya dan relawan lainnya menunggu jemputan menuju posko utama, awalnya Saya sempat berfikir kendaraan yang akan menjemput kami adalah mobil pick up, ternyata lebih dari itu,  kendaraan berat terbuka dengan kekuatan sinar lampunya yang tajam datang menjemput, seingat Saya ada lebih dari 4 armada yang mengantar kami menuju posko utama.



 ***
Patek
Setelah sholat subuh berjamaah tepatnya pukul 06.15 barulah Saya dapat menyaksikan aktivitas sosial masyarakat setempat, sinar matahari membuka tabir kegelapan semakin memperjelas penglihatanku tentang Aceh setelah mengalami gempa dan tsunami, banyak relawan dari berbagai daerah, organisasi dan lintas negara membaur ditengah-tengah aktivitas masyarakat dengan kesibukan yang berbeda-beda, mengevakuasi jenazah, mendistribusikan logistik dan pengobatan massal adalah pemandangan yang umum.

Menginjak pukul 08.30 pak Tyo komandan regu wilayah Jawa Timur meminta Saya dan  Dedi relawan  asal Madiun untuk menndistribusian logistic dan membatu tenaga medis ke sebuah tempat yang akhirnya Saya kenal dengan  Patek.

Awalnya Saya mengira tempat ini tidak terlalu jauh dari Banda Aceh, karena pos dimana Saya tinggal berlokasi di banda aceh, berangkat menggunakan angkutan umum atau yang di kenal labi-labi oleh masyarakat setempat, tibalah Saya di ujung jalan, dan ini benar-benar ujung jalan kawan…., yaitu jalan yang menghubungkan Lok Nga menuju Patek, namun karena jembatan betonnya rusak terbawa arus laut akibat tsunami, maka jalan ini terputus sehingga Saya berada tepat diujung jalan yang terputus, tampak di seberang jalan sisa-sisa bangunan pabrik semen andalas menjadi saksi bisu kekuatan gelombang tsunami yang dasyat.

Sebelumnya Saya mengira bahwa Lok Nga adalah Patek, karena kendaraan yang mengangkut logistic dan beberapa tenaga medis berhenti di ujung jalan ini, setelah logistic dipindah ke sebuah perahu nelayan, akhirnya Saya tersadar kalau perjalanan ini belum berakhir …..

 
Ternyata perahu nelayan yang memuat 9 orang ini harus melewati samudra Hindia untuk menuju Patek, dari kejauhan samar-samar Saya melihat kapal induk entah miliki Negara mana, tapi yang jelas kapal itu melepaskan beberapa helicopter untuk mendistribusikan logistic.


    Hari menjelang malam, hujan rintik-rintik pengemudi kapal hanya menggunakan lampu neon dengan kabel telanjang sebagai alat penerangan, kekuatan sinarnya hanya mampu menjangkau permukaan kapal dengan samar-samar.

    Kurang lebih pukul 23.00 kapal menabrak karang, dan membuat tumpukan logistik berantakan, namun pengemudi kapal sudah menganggapnya wajar, setelah itu mesin.sengaja dimatikan, dan beberapa nelayan melemparkan jangkar, dan mereka meminta kami untuk tidur, akhirnya kami menutupi badan dengan terpal. Lumayan menegangkan juga untuk relawan amatiran seperti Saya ini, tidur diatas perahu dengan goyangan ombak dan hujan, pasrah….
Tepat pukul 07.00 perahu berhasil merapat di patek, puluhan masyarakat dan beberapa personel TNI tampak menunggu kedatangan kami di pinggir pantai, mereka benar – benar membutuhkan makanan dan obat-obatan, dan Patek merupakan salah satu desa di Kec. Sampoiniet, Kab. Aceh Jaya. Desa ini salah satu desa yang hancur diterjang tsunami karena letaknya dekat sekali dengan pantai, sehingga sulit dijankau relawan karena akses jalannya telah rusak.





Selama perjalanan Saya melihat beberapa pohon kelapa dengan ketinggian lebih dari 7 meter berjejer rapi di penggiran pantai, namun ada yang aneh di ujung daun- daunnya berwarna cokelat, dan Saya bertanya kepada salah satu personel TNI, Saya lupa namanya tapi seingat Saya Ia berasal dari Kediri, “kenapa semua ujung daun pohon kelapa berwarna cokelat?” Tanya Saya lalu Ia menjawab “itu batas ketinggian air laut akibat tsunami mas”. Ternyata ketinggian sapuan air di Pulau ini mencapai hampir 12 meter, pantas saja yang tersisa di Pulau ini hanya pondasi bangunan rumah dan beberapa lubang sumur tanpa batas pengaman, menandakan bahwa tempat ini sebelum disapu ombak akibat tsunami adalah sebuah desa padat penduduk......


Maha besar Allah


Akhirnya kami tiba di sebuah gedung sekolah yang dijadikan oleh masyarakat setempat sebagai posko pengungsian, setelah selesai mendistribusikan logistic, para tenaga medis mendata masyarakat yang sakit, mulai sakit ringan hingga sakit yang mebutuhkan penaganan serius, sungguh luar biasa pengorbanan dokter-dokter yang ikut dalam rombongan ini, mereka bekerja penuh semangat,  Saya terkejut ketika melihat pasien yang hadir pada urutan pertama, Ia seorang anak berusia 10 tahun ditemani Ayahnya, sambil menangis sang ayah berusaha menjelaskan kepada dokter bahwa anak ini memiliki luka di kepala akibat kejatuhan seng, lalu dokter mengambil tindakan dengan melakukan bedah minor, menggunting kulit kepala disekitar luka yang telah membusuk untuk membuat luka baru, Saya tidak paham prosedurnya, tapi yang Saya lihat dokter berupaya untuk mengisolir infeksi dan menutupnya dengan perban supaya sterill.




Saya dan relawan lainnya beserta tenaga medis benar-benar merasakan rindu yang sangat mendalam kepada nasi, karena selama perjalanan kami hanya memakan roti dan air mineral ,Setelah beberapa personel TNI menyajikan makan, akhirnya kami benar-benar makan dengan puncak kenikmatan maha dasyat, walaupun hanya dengan nasi dan sayur kacang tapi sungguh nikmat karena akhirnya bisa menemukan kembali nasi, ditemani masyarakat setempat suasana makan menjadi lebih egaliter penuh dengan suasana kekeluargaan.
   Setelah 13 jam melayani masyarakat setempat, akhirnya piminan rombongan memutuskan untuk kembali ke pos Banda Aceh, namun sebelum pulang beberapa personel TNI menulis surat untuk keluarganya masing, surat itu dititipkan kepada kami untuk diserahkan kepada keluarganya masing-masing di daerah Kediri, jember, trenggalek dan tulungagung., begitu mengharukan.


    Di perjalanan pulang ini Saya benar-benar menyaksikan kebesaran Allah, betapa tidak sepanjang tepian pantai menuju banda Aceh setidaknya Saya melihat 3 masjid masih berdiri kokoh walaupun bangungan-bangunan disekitarnya sudah rata dengan tanah.


    Di perjalanan pulang ini lebih menantang kawan, beda dengan keberangkatannya yang lebih banyak diselimuti malam, cuaca panas lebih banyak menemani perjalanan pulang ditambah banyaknya penumpang, setahuku lebih dari 50 penumpang ikut perahu kami menuju banda Aceh.


    Ingat tidak kawan? Diawal cerita ini Saya telah memperkenalkan pak mohar penduduk peribumi aceh, Ia berangkat menggunakan pakaian sederhana, celana training, rompi cokelat dengan kaos oblong, dan mengenakan sarung ditempatkan menyilang dipundaknya. Tampilan sederhana sekali mencerminkan karakter penduduk asli aceh, tapi setelah perahu merapat di longk a, Saya baru mengetahuinya kawan ternyata Ia seorang anggota dewan provinsi aceh.


    Setiba di posko utama banda aceh, Saya dan relawan lainnya istirahat setelah melaksanakan sholat, menjelang maghrib kami membaur sekedar bertukar cerita membagi pengalaman lapangan yang unik, menantang dan berkesan.


    Ada yang unik dan membuatku kaget senang bukan main, setelah sholat maghrib Saya menyaksikan sebagian besar relawan menelpon keluarganya masing-masing menggunakan hand phone GSM, yang aneh mereka berbicara tidak dalam hitungan satu atau dua menit, kerena pikirku biaya komunikasi di Aceh mahal bila melSayakan contact ke pulau jawa, tapi nyatanya rata-rata hampir satu jam mereka menelfon keluarganya, tidak ada ekspresi khawatir dari wajah mereka  akan mahalnya biaya komunikasi yang dikeluarkan, luar biasa ternyata jauhnya jarak yang memisahkan mereka dengan keluarga dan sahabat di pulau jawa tidak mampu membendung kerinduan mereka untuk berkomunikasi, tapi yang aneh di sekitar pos tidak ada toko penjual pulsa, lalu dimana mereka bisa mendapatkan pulsa? Aneh!




Setelah Saya bertanya kepada salah satu diantara mereka, ternyata biaya komunikasi yang mereka keluarkan 0 rupiah alias gratis, pantaslah kawan mereka tidak khawatir akan biaya pulsa setelah bicara berjam-jam, jadi setelah terjadi musibah gempa dan tsunami di Aceh ada operator cellular ternama yang menyediakan fasilitas gratis telefon kemana saja, jadi ada kesibukan baru bagi relawan, selain membantu mengevSayaasi korban, mereka juga disibukkan dengan menelfon keluarganya masing-masing.

 Setelah beberapa hari di aceh, tibalah saatnya melSayakan sholat Jum’at berjamaah, Masjid yang kami pilih adalah masjid raya Baiturrahman, di masjid ini tampak bekas-bekas lumpur akibat arus air lut yang melewati pelataran masjid, kami antri berwudhu, kurang lebih 30 meter panjang antrian, karena tampungan air wudhu hanya tersedia hanya tiga di pelataran masjid, itupun terbuat dari sebuah tong yang telah dimodifikasi untuk kebutuhan berwudlu.  namun ditengah keterbatasan akibat musibah gempa dan tsunami ini, tidak menyurutkan semangat masyarakat untuk beribadah, TNI, POLRI, Relawan dan Masyarakat mengikuti sholat Jum’at dengan khusyu, mereka berbaris dalam shaf- shaf yang kokoh penuh khidmat. Seingatku ketika itu yang menjadi khatib adalah menteri social Alwi Shihab.





    Setelah sholat Jum’at kami kembali ke lapangan mengelilingi kota Banda Aceh, membatu masyarakat membersihkan tempat-tempat fasilitas umum, selama perjalanan kami masih sempat menyaksikan beberapa kapal “nyasar” ke tengah kota, ini menjadi pemandangan yang unik sekaligus menandakan akan kemahadasyatan air atas kuasa Allah mampu mengalahkan kekuatan manusia.




Akhirnya komandan regu memutuskan kami untuk membersihkan Rumah Sakit Jiwa, ya rumah sakit jiwa kawan. Ini adalah tempat yang jauh dari bayanganku, jauh lebih sulit membersihkan tempat ini, selain harus kerja ekstra kuat dibutuhkan kesabaran untuk menyelesaikan tugas dengan baik. Saya bersama temanku Yadi asal Malang mendapat bagian membersihkan kamar mandi, luar biasa kawan, yang Saya bersihkan bukan hanya dinding kamar mandi, tapi tumpukkan kotoran manusia yang sudah mengering. Benar-benar pengalaman berharga, tidak hanya itu teman-temanku yang lain juga bertugas membersihkan lantai di tiap bangsal, dan yang paling sulit adalah mengevSayaasi pasien sakit jiwa untuk pindah ke pelataran rumah sakit, karena kita harus membersihkan lantai, selain membersihkan kamar mandi, ada pengalaman berkesan lainnya yang harus Saya lSayakan, yaitu mencuci kaki dan sandal jepit pasien sakit jiwa satu per satu, karena kalau tidak Saya cuci kaki mereka akan mengotori lantai yang telah dibersihkan. Untunglah sesama relawan bisa saling memberikan semangat, terkadang untuk mensiasati kelelahan kita harus tertawa dengan letupan guyonan yang dilontarkan oleh beberapa teman-teman yang pandai begurau, seingatku yang paling pandai adalah Ari Irawan yang juga seorang guru, relawan asal Kediri ini memang terkenal dengan gurauannya, untungnya kita tertawa masih dalam batas yang wajar, kalau tidak bisa jadi kita harus tinggal di rumah sakit ini menemani pasien sakit jiwa.

Keesokan harinya Saya dan sahabatku Choirul relawan asal kudus, diminta untuk membantu tenaga medis membawa obat-obatan menggunakan mobil ambulance. Perjalanannya kali ini tidak memakan waktu terlalu lama, kurang lebih satu jam sudah sampai lokasi, Saya lupa nama desanya yang jelas di sepanjang jalan Saya masih melihat banyak jenazah yang terbungkus plastic untuk segera dipindahkan oleh personel TNI menuju lokasi pemakaman.












 


Setiba di lokasi Nampak beberapa anak kecil berkerumun di sekitar mobil dimana kami parkir, mereka menyapa kami dengan penuh hangat, namun berbeda dengan perjalananku ke Patek disini tidak ada korban luka-luka mereka tampak sehat semua, namun yang mereka butuhkan adalah semangat hidup, ada hal yang unik, ketika Saya mengajak mereka menggambar, ada salah satu diantara mereka yang menggambar labi-labi disertai wajah supir berjenggot ditemani seorang ibu berjilbab, lalu Saya bertanya siapa ini? Ia tidak menjawab tetapi yang menjawab adalah teman-temannya itu adalah ayah dan ibunya yang hilang dan belum kembali.


Mereka senang dengan kedatangan para relawan dan tenaga medis, kami membuat permainan dan bercanda bersama, membagikan snack adalah kegiatan yang paling menyenangkan buat mereka, fahri contohnya, bocah berusia 9 tahun ini lebih suka dengan susu instant rasa cokelat ketimbang jajanan kering, Ia adalah satu-satunya anak dip anti asuhan ini yang memiliki sepeda, itu adalah barang kebanggaannya. Benar-benar luar biasa mental anak-anak aceh ini, mereka tampak tegar walaupun sebagian besar telah ditinggalkan keluarganya dan ditakdirkan menjadi anak sebantang kara, menurutku yang mereka butuhkan tidak hanya pakaian, obat-obatan, atau makanan dan minuman saja, tapi lebih dari itu, yang mereka butuhkan adalah orang-orang yang mampu mendampinginya untuk membangkitkan semangat hidupnya kembali.





Pertemuanku dengan anak-anak panti asuhan ini adalah pertemuan yang mengharukan, dan ini adalah hari terakhirku di Aceh.





0 komentar: