Warung memiliki aura demokrasi yang dapat mendobrak ruang-ruang formalitas dan menjunjung tinggi konsep egaliter.
Tahu goreng, ubi goreng, tempe goreng dan nangka goreng plus the atau kopi panas adalah pelengkap diskusi yang menurut Saya sama pentingnya seperti ballpoint, buku atau laptop.
Aneka gorengan dan minuman yang ditawarkan warung ini mampu menghubungkan ide-ide segar diantara kami sesama mahasiswa, sedandainya tidak ada gorengan atau minuman panas mungkin diskusi menjadi hambar
Selain tempatnya yang egaliter warung ini juga menawarkan citra rasa kelezatan inilah yang menyebabkan warung menjadi ramai pengunjung, selepas maghrib tidak laki-laki tidak perempuan tidak tua tidak muda semua cinta dengan warung ini, Percaya atau tidak warung ini mampu menjual lebih dari 300 gorengan perharinya dan habis
Penjualnya seorang Ibu ditemani suaminya sebagai staff ahli goreng dan anak perempuannya sebagai kasir
Walaupun warung ini kecil, namun sifat keterbukaan mereka tidak sekecil warung yang mereka miliki, itulah yang menyebabkan sang Ibu penjual gorengan membuat kebijakan “ makan dulu bayar belakangan”
Selain itu pemilik warung juga tidak tertutup dengan saran atau kritik dan kami pernah suatu waktu memberi saran untuk mengganti kantong palstik atau kresek yang berwarna hitam menjadi warna putih supaya lebih sehat dan sang Ibu pun menerima dengan lapang dada.
Walaupun hanya warung yang menawarkan gorengan dan minuman panas tetapi menurut Saya warung ini mampu menggantikan fungsi kelas yang dipagari dengan sekat-sekat formalitas menjadi ruang diskusi , ruang persahabatan, ruang kebebasan dan ruang ekspresi yang mampu menembus batas status social dan kedaerahaan yang kami miliki (Malang,Kalimantan,Jember, Blitar,Pasuruan,probolinggo,Kediri,Ambon, Ternate, Papua, dan Jakarta)
Saya berani mengatakan kalau warung ini layak dijuluki “ warung peradaban”
0 komentar:
Posting Komentar